Orang-orang
Batu di Sekeliling Bebatuan
Antara Fiksi dan Realita
oleh: Amalia
Ulinnuha
Sastra dapat diartikan sebagai ungkapan pribadi,
pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan dalam suatu bentuk gambaran konkret
dengan alat-alat bahasa. Wellek dan Warren (1993, via Wiyatmi 2008: 14) telah
mencoba mengemukakan beberapa definisi sastra, yang sebenarnya semua definisi
yang ditawarkan adalah dalam rangka mencari definisi yang paling tepat. Pertama, sastra adalah segala sesuatu
yang tertulis atau tercetak. Kedua, sastra
dibatasi hanya pada “mahakarya” (great
books), yaitu buku-buku yang
dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya. Ketiga, sastra diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang
sebagai karya imajinatif. Menurut
Wiyatmi (2008: 28) dalam dunia cipta sastra dikenal jenis puisi, drama, dan
naratif (meliputi novel atau roman dan cerita pendek, serta novelet).
Cerita pendek termasuk pada teks naratif karena yang
dimaksud dengan teks-teks naratif ialah semua teks yang tidak bersifat dialog
dan yang isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah deretan peristiwa.
Bersamaan dengan kisah dan deretan peristiwa itu hadir cerita.
Karya sastra dapat dianalisis menggunakan berbagai
pendekatan, salah satunya adalah pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik yang
mengkaji karya sastra berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas
atau kenyataan. Kata realitas di sini bisa berarti keadaan sosial, budaya, sejarah,
pendidikan, ekonomi, hukum, agama, maupun politik. Pendekatan mimetik ini hampir serupa dengan pendekatan
sosiologi sastra. Pada pendekatan sosiologi sastra fokus analisis memang pada
realitas social dan aspek sosial kemasyarakatan.
Sebuah buku dengan judul Perempuan Tanpa Lubang yang di dalamnya terdapat empat belas cerita
pendek karya Hasta Indriyana membuat terpaku sejenak dan bertanya-tanya apakah
yang dimaksud si penulis? Ada salah satu cerpen yang dari judulnya saja membuat
pembaca bertanya dan menjadi penasaran. Pada cerpen orang-orang batu karya Hasta Indriyana ini dikisahkan ada dua
muda-mudi yang menjalin asmara, Siti dan Robin. Kelas sosial ekonomi mereka
berbeda Siti adalah tukang buruh cuci sedangkan Robin adalah anak dari
majikannya namun bukan hanya status sosial yang memisahkan cinta mereka. Di
perkampungan tempat Siti tinggal akan terjadi penggusuran, Robin gencar
membantu warga untuk melakukan penolakan. Beberapa waktu kemudian Robin
menghilang tanpa jejak, penggusuran tak terelakkan. Siti berdiri menyaksikan
kampungnya diratakan dengan tanah, dengan matanya sendiri dia melihat ayah
Robin bagian dari orang-orang dibalik penggusuran. Tersiar kabar Robin diculik
oleh para konglomerat yang tidak rela rencananya mendirikan perumahan mewah dan
lapangan golf terhalangi. Dalam penantian itu ternyata Siti mengandung anak
dari Robin.
Latar tempat,
waktu, dan suasana memang tidak diuraikan secara detail karena dalam cerpen
memang harus ada pemadatan. Namun dapat ditangkap bahwa realita yang ingin
digambarkan adalah sebuah perkampungan kumuh di tengah kota metropolitan
beserta seluruh nyanyian ironinya. Ya, sungguh ironi-ironi potret zaman
millennium ini coba dilukiskan Hasta dalam cerpen orang-orang Batu. Bahasa yang digunakan penuh dengan metafora namun
bias mudah dipahami.
Kisah klasik yang ada pada perkampungan kumuh, miskin,
dan sempit adalah tentang penggusuran. Orang-orang miskin seslalu kalah dengan
ambisi para konglomerat yang berfikir bagaimana bias punya daya jual dan
menghasilkan uang. Perkampungan Tukangan tempat tinggal Siti akan digusur,
dijadikan lapangan golf dan perumahan mewah. Masyarakat dijanjikan ganti rugi
dan lingkungan hidup yang lebih baik. Robin menolak keras agenda ini dan berada
di baris terdepan untuk melawan. Perkampungan kumuh di tengah kota metropolitan
memang sering diperbincangkan, tapi bagaimanapun disitulah mereka tinggal. Hidup
mesti seimbang bukan? Kenyataan yang ada hidup penuh dengan kompetisi secara
kapitalis. Lihat saja di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya,
dan Batam. Pinggir-pinggir jalanan dihiasi dengan gedung bertingkat,
taman-taman hanya terlihat dipojok di atas tanah berkeramik. Sudah jarang
dijumpai tanah lapang, lembah yang hijau, pepohonan yang teduh, dan rumput yang
hijau.
“Ada
banyak hal yang dapat kita pelajari dari perkampungan ini, Siti. Tentang
anak-anak kecil yang berlarian di lorong-lorong rumah, tikus-tikus dan kecoa
yang sesekali menggoda kita, tentang Yu Karni dan Kang Parto yang sedih karena
dua anaknya meninggal oleh demam berdarah, atau kamu yang gemar rebut dengan
ibumu sendiri.”
“Mas
Robin tidak suka Siti ya? Marah?”
“Bukan.
Bukan itu maksudku. Di sini, di perkampungan ini telah kita saksikan hidup dan
pelajaran tentang kematian yang alami. Aku, kamu, dan orang-orang tumbuh di
tengah kemiskinan. Dan kita belajar di atasnya. Membaca isyarat, mengeja
huruf-huruf tentang kemanusiaan, dan kebersamaan. Tapi di tempat ini segalanya
juga keras, seperti gedung-gedung yang menjulang jauh di sana. Angkuh dan tak
mau tahu. Keras seperti sifatmu.”
Perkampungan
kumuh biasanya juga padat penduduk, sanitasi yang tidak baik dan tentunya
lingkungan sekitar membuat banyak penyakit menyerang. Demam berdarah, salah
satu penyakit yang rutin menyerang di musim pancaroba, virus ini senang berda
di tempat-tempat lembab dan perkampungan kumuh yang padat penduduk menjadi
sasaran empuk.
Dari penggalan di atas juga bisa dikaitkan dengan
judul cerpen ini Orang-orang Batu. Penulis
ingin menggambarkan realitas dari dua sisi, kaya maupun miskin mereka sama saja
kerasnya. Kepentingan dengan kepentingan saling beradu, bukan yang paling kuat
atau yang paling pintar yang bertahan, tapi yang paling punya uang. Mendengar
kata penggusuran sering pikiran kita tertuju pada SATPOL PP atau para
preman-preman yang tanpa belas kasihan. Padahal mereka sama dengan posisi kita.
Sama-sama miskin dan sedang menjalankan tugas untuk mencari uang. Kadang juga
mereka tidak ingin melakukan itu, namun apa daya. Orang miskin ditarungkan
dengan orang miskin. Orang-orang batu!
Sama kerasnya.
Tokoh Siti mempresentasikan sosok kebanyakan perempuan
di masa kini rajin, pintar, dan mau bekerja keras namun tidak bisa menikmati
bangku pendidikan sebagaimana mestinya. Anak perempuan satu-satunya dari kedua
orang tua yang sama-sama menjadi buruh serabutan. Fakta ini bisa ditemui pada
masyarakat kita sekarang ini, betapa tidak banyak sekali anak-anak yang
memiliki potensi dan juga keinginan untuk belajar hanya karena nasibnya menjadi
miskin dia tidak bisa sekolah.
“Bu,
kamu ini jangan suka bermimpi. Sekolah itu mahal. Jauh dari jangkauan
orang-orang seperti kita. Beda dengan Nak Robin.”
“Tapi Siti kan pintar dan rajin. Juga patuh pada orang
tua.”
“Yang
bias masuk sekolah kan bukan yang pintar, rajin, atau patuh, tapi yang punya
duit.”
Sepenggal
dialog yang menyatakan bahwa sekolah itu untuk orang yang berduit, tidak cukup
dengan pintar, rajin, patuh, atau sekedar punya keinginan untuk belajar.
“Mas
Robin, katamu, perempuan harus mampu menjadi baja. Siap ditempa menjelma apa
saja. Seperti keris yang pantang menangis. Mas Robin, kami di mana? Aku
mencarimu. Mengertikah, saat ini aku mengandung anakmu, Mas!”
Penggalan di atas member kabar bahwa kini Siti tengan
mengandung anak Robin, padahal mereka belum menikah. Fenomena yang sering
terjadi di tengah masyarakat yaitu hubungan intim sebelum pernikahan. Entah
alasan globalisasi, modernitas, budaya metropolitan, atau apalah namun para
muda-mudi sudah sring melakukan hubungan intim tanpa dosa meski belum menikah.
DAFTAR PUSTAKA
Indriyana, Hasta. 2005. Perempuan Tanpa Lubang. Yogyakarta: Pinus.
Wiyatmi. 2008. Pengantar
Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kakakpertama akan sangat berterimakasih jika ada yang mau mampir memberi komentar!