Selasa, 30 Juli 2013

Analisis Cerpen


Orang-orang Batu di Sekeliling Bebatuan
Antara Fiksi dan Realita
oleh: Amalia Ulinnuha

Sastra dapat diartikan sebagai ungkapan pribadi, pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan dalam suatu bentuk gambaran konkret dengan alat-alat bahasa. Wellek dan Warren (1993, via Wiyatmi 2008: 14) telah mencoba mengemukakan beberapa definisi sastra, yang sebenarnya semua definisi yang ditawarkan adalah dalam rangka mencari definisi yang paling tepat. Pertama, sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Kedua, sastra dibatasi hanya pada “mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya. Ketiga, sastra diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya imajinatif. Menurut Wiyatmi (2008: 28) dalam dunia cipta sastra dikenal jenis puisi, drama, dan naratif (meliputi novel atau roman dan cerita pendek, serta novelet).
Cerita pendek termasuk pada teks naratif karena yang dimaksud dengan teks-teks naratif ialah semua teks yang tidak bersifat dialog dan yang isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah deretan peristiwa. Bersamaan dengan kisah dan deretan peristiwa itu hadir cerita.
Karya sastra dapat dianalisis menggunakan berbagai pendekatan, salah satunya adalah pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik yang mengkaji karya sastra berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata realitas di sini bisa berarti keadaan sosial, budaya, sejarah, pendidikan, ekonomi, hukum, agama, maupun politik. Pendekatan mimetik ini hampir serupa dengan pendekatan sosiologi sastra. Pada pendekatan sosiologi sastra fokus analisis memang pada realitas social dan aspek sosial kemasyarakatan.
Sebuah buku dengan judul Perempuan Tanpa Lubang yang di dalamnya terdapat empat belas cerita pendek karya Hasta Indriyana membuat terpaku sejenak dan bertanya-tanya apakah yang dimaksud si penulis? Ada salah satu cerpen yang dari judulnya saja membuat pembaca bertanya dan menjadi penasaran. Pada cerpen orang-orang batu karya Hasta Indriyana ini dikisahkan ada dua muda-mudi yang menjalin asmara, Siti dan Robin. Kelas sosial ekonomi mereka berbeda Siti adalah tukang buruh cuci sedangkan Robin adalah anak dari majikannya namun bukan hanya status sosial yang memisahkan cinta mereka. Di perkampungan tempat Siti tinggal akan terjadi penggusuran, Robin gencar membantu warga untuk melakukan penolakan. Beberapa waktu kemudian Robin menghilang tanpa jejak, penggusuran tak terelakkan. Siti berdiri menyaksikan kampungnya diratakan dengan tanah, dengan matanya sendiri dia melihat ayah Robin bagian dari orang-orang dibalik penggusuran. Tersiar kabar Robin diculik oleh para konglomerat yang tidak rela rencananya mendirikan perumahan mewah dan lapangan golf terhalangi. Dalam penantian itu ternyata Siti mengandung anak dari Robin.
 Latar tempat, waktu, dan suasana memang tidak diuraikan secara detail karena dalam cerpen memang harus ada pemadatan. Namun dapat ditangkap bahwa realita yang ingin digambarkan adalah sebuah perkampungan kumuh di tengah kota metropolitan beserta seluruh nyanyian ironinya. Ya, sungguh ironi-ironi potret zaman millennium ini coba dilukiskan Hasta dalam cerpen orang-orang Batu. Bahasa yang digunakan penuh dengan metafora namun bias mudah dipahami.
Kisah klasik yang ada pada perkampungan kumuh, miskin, dan sempit adalah tentang penggusuran. Orang-orang miskin seslalu kalah dengan ambisi para konglomerat yang berfikir bagaimana bias punya daya jual dan menghasilkan uang. Perkampungan Tukangan tempat tinggal Siti akan digusur, dijadikan lapangan golf dan perumahan mewah. Masyarakat dijanjikan ganti rugi dan lingkungan hidup yang lebih baik. Robin menolak keras agenda ini dan berada di baris terdepan untuk melawan. Perkampungan kumuh di tengah kota metropolitan memang sering diperbincangkan, tapi bagaimanapun disitulah mereka tinggal. Hidup mesti seimbang bukan? Kenyataan yang ada hidup penuh dengan kompetisi secara kapitalis. Lihat saja di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Batam. Pinggir-pinggir jalanan dihiasi dengan gedung bertingkat, taman-taman hanya terlihat dipojok di atas tanah berkeramik. Sudah jarang dijumpai tanah lapang, lembah yang hijau, pepohonan yang teduh, dan rumput yang hijau.
“Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari perkampungan ini, Siti. Tentang anak-anak kecil yang berlarian di lorong-lorong rumah, tikus-tikus dan kecoa yang sesekali menggoda kita, tentang Yu Karni dan Kang Parto yang sedih karena dua anaknya meninggal oleh demam berdarah, atau kamu yang gemar rebut dengan ibumu sendiri.”
“Mas Robin tidak suka Siti ya? Marah?”
“Bukan. Bukan itu maksudku. Di sini, di perkampungan ini telah kita saksikan hidup dan pelajaran tentang kematian yang alami. Aku, kamu, dan orang-orang tumbuh di tengah kemiskinan. Dan kita belajar di atasnya. Membaca isyarat, mengeja huruf-huruf tentang kemanusiaan, dan kebersamaan. Tapi di tempat ini segalanya juga keras, seperti gedung-gedung yang menjulang jauh di sana. Angkuh dan tak mau tahu. Keras seperti sifatmu.”
Perkampungan kumuh biasanya juga padat penduduk, sanitasi yang tidak baik dan tentunya lingkungan sekitar membuat banyak penyakit menyerang. Demam berdarah, salah satu penyakit yang rutin menyerang di musim pancaroba, virus ini senang berda di tempat-tempat lembab dan perkampungan kumuh yang padat penduduk menjadi sasaran empuk.
Dari penggalan di atas juga bisa dikaitkan dengan judul cerpen ini Orang-orang Batu. Penulis ingin menggambarkan realitas dari dua sisi, kaya maupun miskin mereka sama saja kerasnya. Kepentingan dengan kepentingan saling beradu, bukan yang paling kuat atau yang paling pintar yang bertahan, tapi yang paling punya uang. Mendengar kata penggusuran sering pikiran kita tertuju pada SATPOL PP atau para preman-preman yang tanpa belas kasihan. Padahal mereka sama dengan posisi kita. Sama-sama miskin dan sedang menjalankan tugas untuk mencari uang. Kadang juga mereka tidak ingin melakukan itu, namun apa daya. Orang miskin ditarungkan dengan orang miskin. Orang-orang batu! Sama kerasnya.
Tokoh Siti mempresentasikan sosok kebanyakan perempuan di masa kini rajin, pintar, dan mau bekerja keras namun tidak bisa menikmati bangku pendidikan sebagaimana mestinya. Anak perempuan satu-satunya dari kedua orang tua yang sama-sama menjadi buruh serabutan. Fakta ini bisa ditemui pada masyarakat kita sekarang ini, betapa tidak banyak sekali anak-anak yang memiliki potensi dan juga keinginan untuk belajar hanya karena nasibnya menjadi miskin dia tidak bisa sekolah.
“Bu, kamu ini jangan suka bermimpi. Sekolah itu mahal. Jauh dari jangkauan orang-orang seperti kita. Beda dengan Nak Robin.”
“Tapi Siti kan pintar dan rajin. Juga patuh pada orang tua.”
“Yang bias masuk sekolah kan bukan yang pintar, rajin, atau patuh, tapi yang punya duit.”
Sepenggal dialog yang menyatakan bahwa sekolah itu untuk orang yang berduit, tidak cukup dengan pintar, rajin, patuh, atau sekedar punya keinginan untuk belajar.
“Mas Robin, katamu, perempuan harus mampu menjadi baja. Siap ditempa menjelma apa saja. Seperti keris yang pantang menangis. Mas Robin, kami di mana? Aku mencarimu. Mengertikah, saat ini aku mengandung anakmu, Mas!”
Penggalan di atas member kabar bahwa kini Siti tengan mengandung anak Robin, padahal mereka belum menikah. Fenomena yang sering terjadi di tengah masyarakat yaitu hubungan intim sebelum pernikahan. Entah alasan globalisasi, modernitas, budaya metropolitan, atau apalah namun para muda-mudi sudah sring melakukan hubungan intim tanpa dosa meski belum menikah.



DAFTAR PUSTAKA

Indriyana, Hasta. 2005. Perempuan Tanpa Lubang. Yogyakarta: Pinus.
Wiyatmi. 2008. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kakakpertama akan sangat berterimakasih jika ada yang mau mampir memberi komentar!