Selasa, 30 Juli 2013

KACAMATA (aku bisa nulis cerpen!)


“Kamu tu jadi anak kok nggak tau diuntung sih? Masih banyak orang yang hidupnya lebih susah.” Kalimat itulah yang selalu kuingat dari mulut seorang wanita yang melahirkanku. “Kapan kamu sadar sih nak?”, katanya lagi, aku hanya diam meski berontak dalam dada. Beliau memang lebih tua tapi bukan berarti selalu benar kan? Aku anak pertama dari dua bersaudara yang terlahir dalam keluarga yang takkan mau aku tukarkan. Hmmm anak pertama, ada untungnya, ada ruginya juga sih. Ya untungnya aku sudah lebih lama menghirup nafas di dunia daripada adikku.
Pagi saat di sekolah. “Hallo Ocha...”, sapa beberapa temanku saat aku datang. Aku memang senang berteman dengan siapa saja dan hampir tak punya musuh, tapi aku merasa hampa dan sepi meski aku punya beberapa teman dekat. “Kamu duduk sama siapa Vik?”, tanyaku pada Vika. “Aduh...aku duduk sama tasya Za”, jawab Vika. Ya, namaku Feroza dan biasa dipanggil Ocha atau Za. “Ni sama Ima aja Za”, pinta seorang teman bernama Fina. Kita berenam memang sudah dekat semenjak menginjakkan kaki di SMP ini, kemana-mana selalu bersama, tapi kadang aku bertanya apakah mereka ingat akan keberadaanku saat aku tidak sedang bersama mereka. Diantara kelima temanku Vika, Tasya, Ima, Fina, dan Amara, aku memang yang paling ketinggalan masalah wawasan dunia luar, teknologi, lagu-lagu, berita seleb, dan tentunya urusan-urusan cewek. Maklumlah, anak pertama, tidak seperti mereka semua punya kakak yang bisa jadi tempat bertanya tentang pengalamannya atau mungkin tanpa bertanya pun mereka bisa melihat langsung dan mengikuti perkembangan yang terjadi lewat kakak-kakak mereka. (Kerugian pertama jadi anak pertama, apa-apa jadi pengalaman pertama buat orang tua)
“Za, liat ini lucu kan...bagus nih!!,” kata ibuku. Biasa sesama perempuan kalau udah ngomongin baju dan pernak-perniknya dah pasti langsung nyambung. “Lucu apanya sih bu.....nggak mau ah terlalu nyentrik ntar dikira artis kesasar, modelnya jangan aneh-aneh gitu, yang biasa aja,” kataku. “Ya terserah kamu, tapi jangan nyesel lho,” tegas beliau, aku akuin selera beliau memang esklusif dan nggak ketinggalan zaman lah. “Andai Ibu masih muda...wahh keren ni,” gerutunya. Oh Ibuku aku sangat menyanyangimu, bangga dan kagum padamu tapi mengapa ada hal yang tak bisa terselesaikan antara kita, tatapku penuh arti. Begitulah kiranya perdebatan yang sering terjadi jika sedang belanja bersama. Hubungan dengan ibuku sih baik-baik saja, apalagi masalah perempuan ke salon maupun urusan belanja, kita selalu kompak, meski ada sedikit perdebatan seperti tadi. (Keuntungan pertama jadi anak perempuan satu-satunya)
Malam adalah temanku karna dalam kesunyian itulah aku bisa berkawan dengan diriku sendiri, menangis dan mengiba pada Rabb-ku. Ya Allah...tolong aku, aku tak tau apa yang aku inginkan. Aku merasa sendiri meski hampir tak punya musuh, semua orang tidak bisa mengertiku, bahkan terkadang aku sendiri tak mengerti kenapa aku seperti ini. Aku tau orang tuaku juga sayang padaku, mereka selalu mendoakanku dan bekerja keras untukku, tapi kadang aku seperti anak terlantar yang tidak diperhatikan. Aku sering membantah perkataan keduanya, bukan karena lancang dan tak tau sopan santun, itu karena aku juga yakin aku benar dengan pikiranku.
“Kamu tu, dinasehatin malah jawab terus!!”, ucap Ayahku. Berontakku dalam dada, aku hanya ingin didengarkan, pernah nggak sih mereka melihat dari kacamataku? Tak adil bagiku, namun jika ingin membantah lagi, terlalu kerdil aku teringat semua jasa kedua orang tuaku. Apakah begitu menyusahkannya diriku sebagai anak? Aku selalu mengerjakan apa yang bisa kukerjakan sendiri, tidak menunggu orang lain, karena itu yang diajarkan keduanya padaku. Tataplah aku....Ayah......Ibu...aku begitu menyanyangimu, maafkan aku yang selalu menyakiti hatimu.
****
“Kamu sakit Za??”, tanya Vika di kelas. “Enggak kok, emang kenapa?”, jawabku. “Beda aja, hari ini kamu masih murah senyum dan kalem-kalem aja, tapi....ada yang hilang.”, kata Vika lagi. “Apaan tu yang hilang...ya ntar kita buat laporan ke polisi tentang kehilangan,” kataku sekenanya. “Keliatan dari raut wajahmu Za, kayak kurang semangat.”, Vika belum mau berhenti mengintrograsiku dan aku hanya membalasnya dengan senyuman sambil lalu. Terlalu cuek kah diriku atau terlalu gengsi untuk mengakui jika aku lemah, tapi ini bukan aku. Feroza yang dikenal adalah Feroza yang selalu ceria, penuh semangat, cerewet, sedikit lugu, dan sok berani. Aarrrrghhhh aku juga tak tau apa yang sedang terjadi.
“Feroza...,” Guru geografi memanggil namaku untuk menyerahkan hasil ulanganku. Sebagian tema-teman berbisik sembari menatapku, menduga-duga nilai ulanganku. “Waduh....angkat tangan aku,” kataku menolak dugaan mereka sambil meninggalkan bangku. “Berapa Cha??” tanya Tasya dan Amara hampir bersamaan. Aku menggeleng dan berkata,”aku nggak belajar!!”. “ Kalau aku sih alamat remidi..”, celoteh Vika. Saat kubuka lembar ulangan itu, 76 nilaiku, teman-teman juga mengelilingiku. “Wahh kamu nggak belajar ja dapat 76, apalagi kalau belajar, pasti dapat dua kali lipatnya,” sindir Vika. Target pertama ‘asal nggak remidi’ terselesaikan, meski banyak teman yang tidak percaya aku tidak belajar, entahlah hampa dan aku hanya ingin mengalir saja menjalani hidup.
Yaa Rabb tak bermaksud aku untuk selalu mengeluh atau bahkan mendekte-Mu. Aku hanya seorang anak yang sedang dalam proses mencari jati diri atau seorang anak yang ingin diperlakukan dewasa tapi belum siap untuk itu.
Baru saja sampai dirumah, banyak hal yang terjadi diluar sana. Menghela nafas. “Kamu tu udah gedhe...jaga sikap, jaga mulut,” nasihat ibuku. “Katanya mau diperlakukan sebagai anak gedhe, ibu sudah ijinin kamu main malem asal jelas kemana, mau ngapain, dan sama siapa, tapi inget tugasmu cuci piring. Eh pulang main kok langsung tidur,” tambahnya lagi. Antara capek dan ngrasa bersalah, aku pun pergi ke belakang untuk mencuci piring. Tapi masih saja kudengar ceramah dari penasehat umum rumah ini, Ibuku. “Kalau maunya main terus itu anak kecil, kalau ngakunya sudah besar itu harusnya masak, nyuci baju, nyetrika”........ya intinya bekerja, hidup yang realistis, mesti berusaha untuk hari ini dan esok....bla...bla...terlalu panjang ceramah beliau. Dan aku terlalu merasa lelah hari ini.
Selesai mencuci piring aku pun langsung masuk kamar, merebahkan badan, pikiranku masih melayang ke sana ke mari. Entah. Aku benar-benar tak tau dengan diriku, apa yang kuinginkan, apa yang kupikirkan, semuanya terasa salah dan menyesakkan dada. Sungguh, aku lelah bermain-main dengan pertanyaan yang tak bisa kujawab. Akhirnya aku pun terlelap dengan sendirinya.
****
Pagi saat matahari belum memberikan kehangatannya, kurasakan tubuhku menggigil, kedinginan. Ayah membangunkan satu per satu anggota keluarga rumah ini untuk sholat subuh berjama’ah. Setelah sholat subuh aku langsung kembali ke tempat tidur mencari kehangatan dibalik selimut. Ayah, Ibu dan adik laki-lakiku sudah melakukan berbagai aktivitas, Ibu memanggilku untuk membantunya di dapur atau mandi terlebih dahulu dan siap-siap ke sekolah. Aku hanya diam, pusing sekali rasanya jika menggerakkan badan. Ibu terus memanggilku, “Cha....bangun ini sudah jam 6, ayo bangun!!!”. Ingin kujawab panggilan Ibu, namun tertahan, rasanya lelah sekali. Karena tak mendapat jawabanku, Ibu menghampiriku ke kamar, melihatku masih terbaring berselimut. “Aku nggak enak badan,” jawabku lirih. “O..yasudah istirahat saja”, kata Ibu meninggalkanku karena masih banyak yang harus beliau kerjakan. Kedua orang tuaku bekerja, aku dan adikku sama-sama sekolah, dan kami tidak punya pembantu, jadi urusan rumah harus selesai sebelum jam 7 pagi. Setelah semuanya siap Ayah dan Ibu pergi bekerja, adikku pergi ke sekolah, dan aku? Masih terbaring di tempat tidur, Ibu tadi sempat menawariku sarapan tapi nanti saja tolakku. Ah semua sibuk dengan urusannya masing-masing, teman-temanku juga pasti tidak ingat jika hari ini aku tidak ada di antara mereka, mereka tidak ingat aku. Prasangkaku terus berteriak, sedih aku. Sambil merasakan tetesan-tetesan yang mengalir dari mata aku pun kembali terlelap.
Jam 9 ternyata Ibu kembali ke rumah, melihat keadaanku, memberiku obat. “Maaf ya nak, meninggalkanmu dalam keadaan begini, jangan lupa makan, Ibu ada rapat harus kembali ke kantor,” katanya lembut penuh kasih. Kemudian beliau kembali meninggalkanku sendirian di rumah. Aku hanya terdiam dan kembali basah karena air mata terus mengalir. Ternyata dugaanku salah, Ibu rela kembali ke rumah melihat keadaanku, meski di tengah kesibukannya. Sebelum pulang dari mengajar di sekolah Ayah menelponku, menanyakan aku ingin makan apa Ayah akan mencarikannya. Kali ini, aku salah lagi. Meski Ayahku sering hanya diam saja, tapi beliau juga memikirkanku, mengingatku, tentu saja di tengah-tengah aktivitasnya.
Terkadang pikiran kitalah yang menyebabkan semuanya jadi rumit, prasangka-prasangka yang belum tentu benar, atau kacamata kita yang terkadang membuat yang jelas jadi buram. Aku tak peduli meski teman-temanku atau siapa pun tak peduli padaku, karena aku punya orang-orang yang selalu peduli dan mengertiku, ya keluargaku. Kuncinya ada pada cara kita berpikir dan memandang hidup ini. Sungguh aku dulu sangat sombong, hanya mengeluh dan tak mau bersyukur. Jika setiap yang terjadi di syukuri dan dijalani dengan ikhlas tentu saja semua jadi ringan. Malam ini senyum kembali merekah di rumah ini, hangat berkumpul bersama keluarga yang sangat aku sayangi dan menyanyangiku, mengakhiri perang dingin yang kemarin sempat menegang, uppss bukan perang dingin. Semua salahku, karena prasangkaku dan pikiranku yang menutupi mata hati. Ya gejolak remaja yang merasa tidak dimengerti oleh siapapun. Tidak mau lagi dianggap sebagai anak kecil, tapi ternyata dunia tak seindah yang kubayangkan saat aku masih kecil. “Tua itu pasti Cha, tapi dewasa itu pilihan nak, jangan terburu-buru, ikuti saja semua prosesnya, dan bermetamorfosalah menjadi kupu-kupu, gadis kecilku,” ucap ibuku sedikit menggoda. “Ahh ibu...,”kataku sambil memeluknya.
Masing-masing orangtua punya cara yang berbeda untuk melindungi anaknya, punya tutur yang beda untuk menasihati putrinya, memiliki sikap yang tidak sama dalam mendampingi putrinya.
(My Mom)
Tiba-tiba handphone-ku bergetar, ada sms. Ya sms dari teman-temanku, menanyakan aku sakit apa, apakah aku baik-baik saja, mereka juga menceritakan apa yang terjadi di sekolah hari ini, kelucuan-kelucuan. Ahh mereka juga ternyata perhatian padaku. Aku punya teman-teman yang selalu bisa menghadirkan tawa dan lupa tak kusyukuri. Hari ini, semua yang kupikirkan selama ini salah. Salah besar. Maafkan aku Ya Allah. Ingin bahagia menjalani hidup? Syukuri hidupmu, carilah celah dalam memandang masalah agar bisa selalu disyukuri, selalu ada alasan untuk bersyukur.

Analisis Cerpen


Orang-orang Batu di Sekeliling Bebatuan
Antara Fiksi dan Realita
oleh: Amalia Ulinnuha

Sastra dapat diartikan sebagai ungkapan pribadi, pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan dalam suatu bentuk gambaran konkret dengan alat-alat bahasa. Wellek dan Warren (1993, via Wiyatmi 2008: 14) telah mencoba mengemukakan beberapa definisi sastra, yang sebenarnya semua definisi yang ditawarkan adalah dalam rangka mencari definisi yang paling tepat. Pertama, sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Kedua, sastra dibatasi hanya pada “mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya. Ketiga, sastra diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya imajinatif. Menurut Wiyatmi (2008: 28) dalam dunia cipta sastra dikenal jenis puisi, drama, dan naratif (meliputi novel atau roman dan cerita pendek, serta novelet).
Cerita pendek termasuk pada teks naratif karena yang dimaksud dengan teks-teks naratif ialah semua teks yang tidak bersifat dialog dan yang isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah deretan peristiwa. Bersamaan dengan kisah dan deretan peristiwa itu hadir cerita.
Karya sastra dapat dianalisis menggunakan berbagai pendekatan, salah satunya adalah pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik yang mengkaji karya sastra berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata realitas di sini bisa berarti keadaan sosial, budaya, sejarah, pendidikan, ekonomi, hukum, agama, maupun politik. Pendekatan mimetik ini hampir serupa dengan pendekatan sosiologi sastra. Pada pendekatan sosiologi sastra fokus analisis memang pada realitas social dan aspek sosial kemasyarakatan.
Sebuah buku dengan judul Perempuan Tanpa Lubang yang di dalamnya terdapat empat belas cerita pendek karya Hasta Indriyana membuat terpaku sejenak dan bertanya-tanya apakah yang dimaksud si penulis? Ada salah satu cerpen yang dari judulnya saja membuat pembaca bertanya dan menjadi penasaran. Pada cerpen orang-orang batu karya Hasta Indriyana ini dikisahkan ada dua muda-mudi yang menjalin asmara, Siti dan Robin. Kelas sosial ekonomi mereka berbeda Siti adalah tukang buruh cuci sedangkan Robin adalah anak dari majikannya namun bukan hanya status sosial yang memisahkan cinta mereka. Di perkampungan tempat Siti tinggal akan terjadi penggusuran, Robin gencar membantu warga untuk melakukan penolakan. Beberapa waktu kemudian Robin menghilang tanpa jejak, penggusuran tak terelakkan. Siti berdiri menyaksikan kampungnya diratakan dengan tanah, dengan matanya sendiri dia melihat ayah Robin bagian dari orang-orang dibalik penggusuran. Tersiar kabar Robin diculik oleh para konglomerat yang tidak rela rencananya mendirikan perumahan mewah dan lapangan golf terhalangi. Dalam penantian itu ternyata Siti mengandung anak dari Robin.
 Latar tempat, waktu, dan suasana memang tidak diuraikan secara detail karena dalam cerpen memang harus ada pemadatan. Namun dapat ditangkap bahwa realita yang ingin digambarkan adalah sebuah perkampungan kumuh di tengah kota metropolitan beserta seluruh nyanyian ironinya. Ya, sungguh ironi-ironi potret zaman millennium ini coba dilukiskan Hasta dalam cerpen orang-orang Batu. Bahasa yang digunakan penuh dengan metafora namun bias mudah dipahami.
Kisah klasik yang ada pada perkampungan kumuh, miskin, dan sempit adalah tentang penggusuran. Orang-orang miskin seslalu kalah dengan ambisi para konglomerat yang berfikir bagaimana bias punya daya jual dan menghasilkan uang. Perkampungan Tukangan tempat tinggal Siti akan digusur, dijadikan lapangan golf dan perumahan mewah. Masyarakat dijanjikan ganti rugi dan lingkungan hidup yang lebih baik. Robin menolak keras agenda ini dan berada di baris terdepan untuk melawan. Perkampungan kumuh di tengah kota metropolitan memang sering diperbincangkan, tapi bagaimanapun disitulah mereka tinggal. Hidup mesti seimbang bukan? Kenyataan yang ada hidup penuh dengan kompetisi secara kapitalis. Lihat saja di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Batam. Pinggir-pinggir jalanan dihiasi dengan gedung bertingkat, taman-taman hanya terlihat dipojok di atas tanah berkeramik. Sudah jarang dijumpai tanah lapang, lembah yang hijau, pepohonan yang teduh, dan rumput yang hijau.
“Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari perkampungan ini, Siti. Tentang anak-anak kecil yang berlarian di lorong-lorong rumah, tikus-tikus dan kecoa yang sesekali menggoda kita, tentang Yu Karni dan Kang Parto yang sedih karena dua anaknya meninggal oleh demam berdarah, atau kamu yang gemar rebut dengan ibumu sendiri.”
“Mas Robin tidak suka Siti ya? Marah?”
“Bukan. Bukan itu maksudku. Di sini, di perkampungan ini telah kita saksikan hidup dan pelajaran tentang kematian yang alami. Aku, kamu, dan orang-orang tumbuh di tengah kemiskinan. Dan kita belajar di atasnya. Membaca isyarat, mengeja huruf-huruf tentang kemanusiaan, dan kebersamaan. Tapi di tempat ini segalanya juga keras, seperti gedung-gedung yang menjulang jauh di sana. Angkuh dan tak mau tahu. Keras seperti sifatmu.”
Perkampungan kumuh biasanya juga padat penduduk, sanitasi yang tidak baik dan tentunya lingkungan sekitar membuat banyak penyakit menyerang. Demam berdarah, salah satu penyakit yang rutin menyerang di musim pancaroba, virus ini senang berda di tempat-tempat lembab dan perkampungan kumuh yang padat penduduk menjadi sasaran empuk.
Dari penggalan di atas juga bisa dikaitkan dengan judul cerpen ini Orang-orang Batu. Penulis ingin menggambarkan realitas dari dua sisi, kaya maupun miskin mereka sama saja kerasnya. Kepentingan dengan kepentingan saling beradu, bukan yang paling kuat atau yang paling pintar yang bertahan, tapi yang paling punya uang. Mendengar kata penggusuran sering pikiran kita tertuju pada SATPOL PP atau para preman-preman yang tanpa belas kasihan. Padahal mereka sama dengan posisi kita. Sama-sama miskin dan sedang menjalankan tugas untuk mencari uang. Kadang juga mereka tidak ingin melakukan itu, namun apa daya. Orang miskin ditarungkan dengan orang miskin. Orang-orang batu! Sama kerasnya.
Tokoh Siti mempresentasikan sosok kebanyakan perempuan di masa kini rajin, pintar, dan mau bekerja keras namun tidak bisa menikmati bangku pendidikan sebagaimana mestinya. Anak perempuan satu-satunya dari kedua orang tua yang sama-sama menjadi buruh serabutan. Fakta ini bisa ditemui pada masyarakat kita sekarang ini, betapa tidak banyak sekali anak-anak yang memiliki potensi dan juga keinginan untuk belajar hanya karena nasibnya menjadi miskin dia tidak bisa sekolah.
“Bu, kamu ini jangan suka bermimpi. Sekolah itu mahal. Jauh dari jangkauan orang-orang seperti kita. Beda dengan Nak Robin.”
“Tapi Siti kan pintar dan rajin. Juga patuh pada orang tua.”
“Yang bias masuk sekolah kan bukan yang pintar, rajin, atau patuh, tapi yang punya duit.”
Sepenggal dialog yang menyatakan bahwa sekolah itu untuk orang yang berduit, tidak cukup dengan pintar, rajin, patuh, atau sekedar punya keinginan untuk belajar.
“Mas Robin, katamu, perempuan harus mampu menjadi baja. Siap ditempa menjelma apa saja. Seperti keris yang pantang menangis. Mas Robin, kami di mana? Aku mencarimu. Mengertikah, saat ini aku mengandung anakmu, Mas!”
Penggalan di atas member kabar bahwa kini Siti tengan mengandung anak Robin, padahal mereka belum menikah. Fenomena yang sering terjadi di tengah masyarakat yaitu hubungan intim sebelum pernikahan. Entah alasan globalisasi, modernitas, budaya metropolitan, atau apalah namun para muda-mudi sudah sring melakukan hubungan intim tanpa dosa meski belum menikah.



DAFTAR PUSTAKA

Indriyana, Hasta. 2005. Perempuan Tanpa Lubang. Yogyakarta: Pinus.
Wiyatmi. 2008. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Selasa, 09 Juli 2013

Bisa Begitu



Aku tak tau apa yang terjadi
Kau bisa begitu dekat sekaligus begitu jauh
Kau bisa begitu baik
tiba-tiba begitu jahat
Kau bisa begitu mengerti dan begitu acuh
Kau bisa begitu hangat atau begitu dingin
ya, begitu dingin

begitu bisa
begitu bisa
bisa begitu

Jika fajar menyapa
kau terbangun
Sekali saja jawab aku dari hatimu
Apa yang harus aku lakukan?
Tetap bertahan, mencoba bersabar menunggu dan mengertimu?
Apa masih bisa?
Apa masih pantas?
Apa masih mampu?
Apa masih layak?
Apa masih bisa begitu?


(21-10-12)