Rabu, 20 Agustus 2014

Generasi tanpa Peradaban



SELAMATKAN INDONESIA PERBAIKI PENDIDIKAN
Oleh: Amalia Ulinnuha/Mahasiswi PBSI UNY

Dewasa ini banyak sekali masalah yang menimpa Indonesia, semakin hari masalah-masalah itu menjadi komplek dan saling terkait tanpa ujung yang jelas. Masalah pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial seakan tidak mendukung terciptanya Indonesia yang damai dan sejahtera. Melihat, membaca, dan mendengar berbagai media mengabarkan situasi kehidupan kita semakin tak menentu. Orientasi sudah berubah mengikuti perkembangan zaman yang katanya maju. Perubahan sosial terjadi di masyarakat, masyarakat Indonesia yang dikenal ramah, guyub rukun, saling tolong-menolong berubah menjadi egois dan apatis. Semuanya berlomba-lomba demi kepentingan masing-masing untuk bertahan hidup.
Banyak anak-anak memilih mengemis dan mengamen dibandingkan duduk di belakang meja sekolahan. Alasannya klise, untuk makan dan bertahan hidup. Miris sekali rasanya, anak-anak kecil yang seharusnya punya sejuta mimpi untuk diwujudkan, cara berpikir mereka dirubah oleh kondisi hidup yang ada bahwa hidup itu butuh uang, uang, dan uang. Kemiskinan, jalanan yang panas, perumahan kumuh, pendidikan yang rendah, membuat para generasi ini terkepung oleh lingkungan yang membesarkan mereka. Padahal lingkungan itu sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi. Ini baru contoh masalah Indonesia yang berhubungan dengan pendidikan, ekonomi, dan sosial.
Pada umumnya masyarakat Indonesia sekarang ini pasif terhadap kebijakan pemerintah dan rasa pesimis sering berkembang terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam pemerintah. Dilihat dari banyaknya pemilih yang menjadi golongan putih dalam setiap pemilihan yang ada merupakan sebuah bencana bagi peradaban Indonesia. Kepeduliaan mereka terhadap situasi politik yang tentunya akan berdampak pada hal lain dalam kehidupan nampaknya tidak ada. Mereka sudah tidak bisa melihat dan merasakan perbedaan, yang mereka tahu adalah bagaimana melanjutkan hidup mereka masing-masing. Siapa pun presidennya, gubernurnya, atau bupatinya tidak akan berpengaruh pada rutinitas hidup yang mereka jalani. Mereka tetap harus bangun sebelum subuh untuk menjadi kuli pasar atau mereka para pengusaha akan tetap pergi ke luar negeri mengadakan pertemuan bisnis untuk terus meraup keuntungan tanpa peduli terhadap keberlangsungan sebuah peradaban.
Setiap pribadi memilih untuk tetap bertahan dalam zona aman atau rutinitas yang ada dibandingkan mencoba mencari jawaban-jawaban dari masalah yang ada. Ya, untuk memperjuangkan hidup mereka sendiri saja sudah sangat sulit apalagi harus memerdulikan urusan pemerintah? Mental kita juga sudah rusak oleh pikiran-pikiran seperti itu, seakan semua hal yang terjadi adalah formalitas dan siklus tanpa makna. Membangun sebuah bangunan harus dari bawah, dari dasar tiang-tiang penegak pondasi. Begitu pula menyelamatkan peradaban Indonesia. Kita harus memulai dari cara pandang kita, cara berpikir kita, niat kita itulah yang menjadi dasar kita memutuskan dan melakukan sesuatu.
Peradaban adalah tingkat tinggi rendahnya budaya suatu masyarakat. Peradaban Indonesia berarti bisa disebut juga budaya Indonesia. Sekarang ini peradaban Indonesia sedang kehilangan arah diterjang ombak globalisasi dan modernisasi. Kompleksitas masalah yang dihadapi terjadi secara sistemik. Indonesia tidak boleh kehilangan kekhasannya sebagai bangsa yang ramah, guyub rukun, saling tolong menolong, damai, kekeluargaan, dan kepekaan sosialnya tinggi. 
Pendidikan merupakan pilihan strategis untuk melakukan proses perubahan sosial menuju masyarakat yang cerdas, beradab, adil, makmur, dan sejahtera. Pendidikan berfungsi membentuk watak peradaban sebuah bangsa yang beradab dan bermartabat. Pendidikan berpengaruh terhadap cara berpikir dan cara berperilaku seseorang. Pendidikan adalah jalan untuk menyelamatkan peradaban Indonesia.





Sekeping Sepi

Jangan kau kutuki sepi. .di sanalah akan kau temui nurani 
dengan kejujuran yang berbisik
jalan pikir terbuka menemui makna
Jangan kau kutuki sepi. .padanya kau teteskan air saat tiada yang mengusap
bercengkrama dengan diri yang terlupa
tengadah pada Rabb Yang Mahatau

Jangan kau kutuki sepi. . .dia sendiri kesepian

  
Kita seringnya begitu tersiksa dengan sepi. Seakan-akan tidak ada orang yang perduli dan mau mengerti. Sepi menjadi sebuah ancaman keberadaan atas kita. Mengapa mesti takut dengan sepi?
Apa arti sepi untukmu?
Saat tak ada siapa pun di sisi
Saat  malam gelap gulita
Saat pikiran kosong
Saat hati gundah gulana
Saat sendiri di tempat asing
Saat tidak ada yang bisa dilakukan
Semua benar, semua salah
Tanyakan hatimu, apa arti sepi?
Jika di tengah keramaian saja kau masih tersiksa olehnya.
Sepi adalah kawan bagi jiwa-jiwa suci yang mengharap ridloNya.
Jangan risau, jangan khawatir.....Allah selalu menjagamu. :)

Rabu, 06 Agustus 2014

Pilihan Hari Ini

Kadang kita kalut dalam kebimbangan di antara dua pilihan. Ya, semua tentu punya resiko. Dalam kemantapan kita memilih tentu kita syukuri jika sesuai dengan harapan, namun tak jarang rasa sesal hinggap jika akhirnya pilihan itu tak sejalan dengan harapan. Tapi pernahkah kita benar-benar sadari bahwa apa pun pilihan yang kita pilih, sebaik-baik penentu adalah Allah Azza Wa Jalla. Dia Mahatahu segalanya yang ghaib di depan nanti.
Kita tak pernah tau dampak dari pilihan kita satu, dua, atau tiga tahun yang lalu. Begitu juga dengan apa yang akan terjadi dengan pilihan kita hari ini. Jalani saja...semua sudah ada yang mengatur, serahkan padaNya sambil terus memohon "ihdinash shiratal mustaqim". :)


Kamis, 13 Februari 2014

Perihal: Ikhlas ^memaksa diri^



       Terkadang ikhlas (kebaikan) itu perlu dipaksakan agar menjadi kebiasaan hingga tersadar bahwa itu merupakan kebutuhan. Mendengar kata-kata terpaksa pikiran kita cenderung negativ, bukankah daging babi yang haram pada kondisi tertentu karena ‘terpaksa’ bisa menjadi halal? Tapi tentu analogi itu juga tidak bisa kita terapkan pada hal lain juga. Mari kita membuka kamus dulu, kata pak·sa berarti mengerjakan sesuatu yg diharuskan walaupun tidak mau dan kata ter·pak·sa berarti berbuat di luar kemauan sendiri karena terdesak oleh keadaan; mau tidak mau harus; tidak boleh tidak. Kembali lagi pada awal kalimat di paragraf ini,  niat baik itu harus diikuti dengan cara/jalan yang baik pula. Ada orang yang beralasan tidak ingin melakukan sesuatu tentunya dalam hal kebaikan karena tidak ikhlas, “aah gak usah daripada gak ikhlas”. Atau sering berdalih ini itu menunda sebuah kebaikan dengan alasan tidak mau dipaksa nanti jadinya tidak ikhlas. Iya, setuju bahwa ikhlas itu tidak bisa dipaksakan harus tumbuh secara senyap disadari maupun tidak. Tapi jika kita menunggu hati terbuka untuk ikhlas, sampai kapan? Bukankah Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga kaum itu mau merubah dirinya sendiri, tentunya dengan usaha. Nah kebaikan juga harus kita usahakan, setiap kebaikan yang kita usahakan juga harus dengan keikhlasan kan? Berarti ikhlas juga harus diusahakan dengan sepenuh hati, tidak bisa berdiam diri menunggu.
Nabi bersabda:
" إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ"

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas & dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah."
       Ingatkah kita waktu kecil? Saat bermain di luar rumah mengetahui Ayah akan pergi ke supermarket ingin rasanya ikut agar bisa beli jajanan tapi aku tau tidak bisa langsung ikut begitu saja naik di atas motor. Aku harus pulang terlebih dahulu mengambil jilbab. Saat itu aku belum tau apa itu, untuk apa, yang aku tau kalau mau pergi-pergi jauh harus memakai jilbab. Atau cerita saat kita berusaha menahan lapar dan haus saat puasa hanya untuk mendapatkan baju baru di hari lebaran? Apa saat itu kita tau perihal ikhlas? Yang kita tau itu sebuah paksaan yang ada konsekuensinya. Pernah juga terlena bermain atau menonton televisi dan orang tua menyadari kita belum sholat. Ayah pasti langsung mematikan televisi dan memarahiku untuk segera sholat, tatapanku masih belum lepas dari televisi. Kemudian ibu akan menambahi ceramah itu, akhirnya dengan berurai air mata aku mengambil air wudlu dan sholat yang aku sendiri lupa rasanya hanya menggerakkan tubuhku secepat kilat sambil masih tetap menangis. Ya itu kulakukan karena terpaksa dimarahi orang tua, karena tidak ingin dimarahi lagi aku mulai terbiasa sholat lima waktu, sadar diri jika belum sholat ada yang kurang meski juga entah bagaimana kualitas sholatku sampai hari ini. 
       Pemahaman itu akan datang dengan perlahan, kepingan-kepingan ilmu dan dari kebiasaan itu akhirnya aku tau apa itu sholat, kenapa harus shalat, dan bagaimana jika tidak sholat. Semoga akhirnya kita tau bahwa sholat adalah sebuah kebutuhan. Apa masih ditanya ikhlas apa tidak? Aku pernah membaca sebuah artikel di blog bahwa ikhlas itu seperti surat Al Ikhlas yang tidak ada satu pun kata ikhlas. Sampai pada saat kita bisa berkata ”aku ikhlas” entah dilafalkan atau hanya di dalam hati mungkin sebenarnya kita belum benar-benar ikhlas. Ikhlas itu berarti kita melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh tanpa kita sadar apakah kita ikhlas atau tidak. Di dalam hati pun kita tidak akan bertanya-tanya, ya dikerjakan saja, di lakukan saja.
       Kembali pada soal paksa-memaksa. Ya, memaksa diri. Jika ikhlas itu tak pernah kita dapati dalam diri karena banyak hal dan alasan, jika ikhlas yang harus diusahakan itu begitu sulit mengawali langkah-langkah kebaikan. Maka, lupakan dulu tentang ikhlas! Jika itu di anggap terlalu jahat dan merugikan orang lain. Aah…pasti kukatakan: “jika aku tidak boleh memaksa orang lain, aku akan memaksa diriku sendiri untuk melakukan yang lebih, lebih, dan lebih”. Aku percaya bahwa kita itu lebih dari yang kita bayangkan, jadi jika ingin melakukan sesuatu tidak usah terlalu lama memikirkan nanti bagaimana, ikhlas tidak ya, bisa tidak ya, mampu tidak ya, stop! Cukup lakukan saja sebaik mungkin. Paksa dirimu dan lawan rasa malasmu untuk terus berbuat baik. Memaksa diri terus menerus, dalam waktu yang relatif lama, bukankah sama artinya kita sedang belajar membiasakan diri? Sesuatu yang dilakukan karena kebiasaan, pada akhirnya nanti juga akan lebih ringan dilakukan tanpa banyak pertimbangan memberatkan. Dan kalau sudah begini, ikhlas itu ternyata hanya soal dimensi lain yang berada dalam hati kita.
“Biasakan yang baik jangan membaikkan kebiasaan

Minggu, 09 Februari 2014

Teruslah Bergerak!

       Kehidupan ini terus berlalu tanpa kita sadari. Keraguan-keraguan silih berganti menghampiri, keputusan harus segera dibuat. Dalam Quran surat Al Insyirah ayat 7 Allah berfirman, ”Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”. Ya, hidup harus terus bergerak dari satu waktu ke waktu yang lain, dari satu masalah ke masalah yang lain, dari satu kejadian ke kejadian berikutnya. Itulah ritme kehidupan yang selalu berputar maka sesudah selesai menunaikan satu tugas siapkan diri untuk menunaikan tugas lainnya. Tapi seringnya kita terpaku pada satu titik, satu tempat, atau satu hal membuat hidup terkungkung pada rutinitas. Jika selama ini rutinitas yang kita jalani sudah baik dan benar tentu harus kita syukuri dan dijaga. Tapi apakah tidak ingin melakukan hal lain? Jika rutinitas selama ini sudah bisa memberikan manfaat dan memecahkan masalah untuk lingkungan sekitar, apakah tidak ingin menjamah tempat lain dan memberikan manfaat lebih luas? Apalagi jika rutinitas yang dijalani selama ini belum tentu benar, apakah tidak ingin memperbaikinya dengan terus bergerak dan berubah? Tulisan ini hanya bermaksud mengajak agar kita mengerjakan apa yang bisa dikerjakan. Terlepas dari rutinitas dan rasa puas dari hasil yang telah didapat.
       Bergerak, bergerak, dan berdosa itu lebih mulia daripada diam berpahala. Kalimat di samping mungkin terasa begitu memudahkan perihal dosa namun sebenarnya syarat akan makna. Bergerak, terus bergerak mencoba segala kemungkinan meski seringnya terjatuh dan salah membuat kita tahu bahwa nantinya hal itu tak boleh diulang lagi. Terus bergerak juga bagian dari memanfaatkan waktu dan mensyukuri kesempatan hidup yang masih diberikan oleh-Nya. Ada pepatah mengatakan diam itu emas, namun dalam hal ini mari kita coret pepatah itu. Tanyakan pada diri sendiri apakah yang telah kita lakukan untuk diri sendiri, orang-orang sekitar, dan lingkungan yang kita tinggali. Mari kita periksa keadaan dan membaca tanda-tanda, apakah ada yang bisa kita lakukan? Atau adakah yang harusnya kita lakukan dan belum kita lakukan?

 “Kemaksiatan yang memberi bekas rasa hina dan hancur dihadapan-Nya karena kemaksiatan, lebih baik daripada ketaatan yang meninggalkan rasa bangga dan sombong.”(Ibnu Athaillah as-Sakandari)

       Jika sebuah keburukan terjadi  menjadikan kita lebih baik, berarti itulah sebuah kebaikan sesungguhnya. Manusia tempatnya lupa dan salah, begitukan katanya? Untuk itu jangan takut mencoba dan salah. Kita akan terus belajar selama hayat masih dikandung badan. Terjatuh? Itu isyarat bahwa kita akan bangkit berdiri lebih kuat. Bukankah Allah azza wa jalla akan selalu memberi pertolongan. Hidup itu bagai ingin membangun rumah satu per satu menumpuk bata, butuh proses. Salah dan terjatuh adalah bagian dari proses tersebut. jangan takut mencoba, jangan takut berubah, dan jangan takut menjadi pembeda. 

“Hidup hanyalah kesempatan membuat pilihan, segalanya digulirkan dan digilirkan. Apapun yang kita pilih, ujungnya adalah tanggung jawab. Memikul tanggung jawab apapun pasti melelahkan. Tidak ada hidup yang tidak melelahkan. Yang membedakan hanya bagaimana memahami setiap konsekuensi pilihan dengan sikap terbaik.”

Minggu, 19 Januari 2014

jika aku, maka.......

malam ini aku bertanya pada diri sendiri,
apa yang sedang kau lakukan?
apa yang sedang kau usahakan?
apa yang sedang kau perjuangkan?
hanya rintihan menahan air mata
hanya sedikit hentakan untuk tetap berdiri
hanya.....tatapan tajam meneguhkan hati

jika aku berhenti maka......
jika aku menyerah maka.....
jika aku mengeluh maka.....
ahh entahlah
ahh sudahlah
begitu yang kau mau?

sayap-sayapku.....apa kau lelah terbang bersamaku?
sungguh aku tidak ingin memaksa, tidak juga kau

jika aku pergi, maka?