Kamis, 13 Februari 2014

Perihal: Ikhlas ^memaksa diri^



       Terkadang ikhlas (kebaikan) itu perlu dipaksakan agar menjadi kebiasaan hingga tersadar bahwa itu merupakan kebutuhan. Mendengar kata-kata terpaksa pikiran kita cenderung negativ, bukankah daging babi yang haram pada kondisi tertentu karena ‘terpaksa’ bisa menjadi halal? Tapi tentu analogi itu juga tidak bisa kita terapkan pada hal lain juga. Mari kita membuka kamus dulu, kata pak·sa berarti mengerjakan sesuatu yg diharuskan walaupun tidak mau dan kata ter·pak·sa berarti berbuat di luar kemauan sendiri karena terdesak oleh keadaan; mau tidak mau harus; tidak boleh tidak. Kembali lagi pada awal kalimat di paragraf ini,  niat baik itu harus diikuti dengan cara/jalan yang baik pula. Ada orang yang beralasan tidak ingin melakukan sesuatu tentunya dalam hal kebaikan karena tidak ikhlas, “aah gak usah daripada gak ikhlas”. Atau sering berdalih ini itu menunda sebuah kebaikan dengan alasan tidak mau dipaksa nanti jadinya tidak ikhlas. Iya, setuju bahwa ikhlas itu tidak bisa dipaksakan harus tumbuh secara senyap disadari maupun tidak. Tapi jika kita menunggu hati terbuka untuk ikhlas, sampai kapan? Bukankah Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga kaum itu mau merubah dirinya sendiri, tentunya dengan usaha. Nah kebaikan juga harus kita usahakan, setiap kebaikan yang kita usahakan juga harus dengan keikhlasan kan? Berarti ikhlas juga harus diusahakan dengan sepenuh hati, tidak bisa berdiam diri menunggu.
Nabi bersabda:
" إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ"

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas & dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah."
       Ingatkah kita waktu kecil? Saat bermain di luar rumah mengetahui Ayah akan pergi ke supermarket ingin rasanya ikut agar bisa beli jajanan tapi aku tau tidak bisa langsung ikut begitu saja naik di atas motor. Aku harus pulang terlebih dahulu mengambil jilbab. Saat itu aku belum tau apa itu, untuk apa, yang aku tau kalau mau pergi-pergi jauh harus memakai jilbab. Atau cerita saat kita berusaha menahan lapar dan haus saat puasa hanya untuk mendapatkan baju baru di hari lebaran? Apa saat itu kita tau perihal ikhlas? Yang kita tau itu sebuah paksaan yang ada konsekuensinya. Pernah juga terlena bermain atau menonton televisi dan orang tua menyadari kita belum sholat. Ayah pasti langsung mematikan televisi dan memarahiku untuk segera sholat, tatapanku masih belum lepas dari televisi. Kemudian ibu akan menambahi ceramah itu, akhirnya dengan berurai air mata aku mengambil air wudlu dan sholat yang aku sendiri lupa rasanya hanya menggerakkan tubuhku secepat kilat sambil masih tetap menangis. Ya itu kulakukan karena terpaksa dimarahi orang tua, karena tidak ingin dimarahi lagi aku mulai terbiasa sholat lima waktu, sadar diri jika belum sholat ada yang kurang meski juga entah bagaimana kualitas sholatku sampai hari ini. 
       Pemahaman itu akan datang dengan perlahan, kepingan-kepingan ilmu dan dari kebiasaan itu akhirnya aku tau apa itu sholat, kenapa harus shalat, dan bagaimana jika tidak sholat. Semoga akhirnya kita tau bahwa sholat adalah sebuah kebutuhan. Apa masih ditanya ikhlas apa tidak? Aku pernah membaca sebuah artikel di blog bahwa ikhlas itu seperti surat Al Ikhlas yang tidak ada satu pun kata ikhlas. Sampai pada saat kita bisa berkata ”aku ikhlas” entah dilafalkan atau hanya di dalam hati mungkin sebenarnya kita belum benar-benar ikhlas. Ikhlas itu berarti kita melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh tanpa kita sadar apakah kita ikhlas atau tidak. Di dalam hati pun kita tidak akan bertanya-tanya, ya dikerjakan saja, di lakukan saja.
       Kembali pada soal paksa-memaksa. Ya, memaksa diri. Jika ikhlas itu tak pernah kita dapati dalam diri karena banyak hal dan alasan, jika ikhlas yang harus diusahakan itu begitu sulit mengawali langkah-langkah kebaikan. Maka, lupakan dulu tentang ikhlas! Jika itu di anggap terlalu jahat dan merugikan orang lain. Aah…pasti kukatakan: “jika aku tidak boleh memaksa orang lain, aku akan memaksa diriku sendiri untuk melakukan yang lebih, lebih, dan lebih”. Aku percaya bahwa kita itu lebih dari yang kita bayangkan, jadi jika ingin melakukan sesuatu tidak usah terlalu lama memikirkan nanti bagaimana, ikhlas tidak ya, bisa tidak ya, mampu tidak ya, stop! Cukup lakukan saja sebaik mungkin. Paksa dirimu dan lawan rasa malasmu untuk terus berbuat baik. Memaksa diri terus menerus, dalam waktu yang relatif lama, bukankah sama artinya kita sedang belajar membiasakan diri? Sesuatu yang dilakukan karena kebiasaan, pada akhirnya nanti juga akan lebih ringan dilakukan tanpa banyak pertimbangan memberatkan. Dan kalau sudah begini, ikhlas itu ternyata hanya soal dimensi lain yang berada dalam hati kita.
“Biasakan yang baik jangan membaikkan kebiasaan

Minggu, 09 Februari 2014

Teruslah Bergerak!

       Kehidupan ini terus berlalu tanpa kita sadari. Keraguan-keraguan silih berganti menghampiri, keputusan harus segera dibuat. Dalam Quran surat Al Insyirah ayat 7 Allah berfirman, ”Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”. Ya, hidup harus terus bergerak dari satu waktu ke waktu yang lain, dari satu masalah ke masalah yang lain, dari satu kejadian ke kejadian berikutnya. Itulah ritme kehidupan yang selalu berputar maka sesudah selesai menunaikan satu tugas siapkan diri untuk menunaikan tugas lainnya. Tapi seringnya kita terpaku pada satu titik, satu tempat, atau satu hal membuat hidup terkungkung pada rutinitas. Jika selama ini rutinitas yang kita jalani sudah baik dan benar tentu harus kita syukuri dan dijaga. Tapi apakah tidak ingin melakukan hal lain? Jika rutinitas selama ini sudah bisa memberikan manfaat dan memecahkan masalah untuk lingkungan sekitar, apakah tidak ingin menjamah tempat lain dan memberikan manfaat lebih luas? Apalagi jika rutinitas yang dijalani selama ini belum tentu benar, apakah tidak ingin memperbaikinya dengan terus bergerak dan berubah? Tulisan ini hanya bermaksud mengajak agar kita mengerjakan apa yang bisa dikerjakan. Terlepas dari rutinitas dan rasa puas dari hasil yang telah didapat.
       Bergerak, bergerak, dan berdosa itu lebih mulia daripada diam berpahala. Kalimat di samping mungkin terasa begitu memudahkan perihal dosa namun sebenarnya syarat akan makna. Bergerak, terus bergerak mencoba segala kemungkinan meski seringnya terjatuh dan salah membuat kita tahu bahwa nantinya hal itu tak boleh diulang lagi. Terus bergerak juga bagian dari memanfaatkan waktu dan mensyukuri kesempatan hidup yang masih diberikan oleh-Nya. Ada pepatah mengatakan diam itu emas, namun dalam hal ini mari kita coret pepatah itu. Tanyakan pada diri sendiri apakah yang telah kita lakukan untuk diri sendiri, orang-orang sekitar, dan lingkungan yang kita tinggali. Mari kita periksa keadaan dan membaca tanda-tanda, apakah ada yang bisa kita lakukan? Atau adakah yang harusnya kita lakukan dan belum kita lakukan?

 “Kemaksiatan yang memberi bekas rasa hina dan hancur dihadapan-Nya karena kemaksiatan, lebih baik daripada ketaatan yang meninggalkan rasa bangga dan sombong.”(Ibnu Athaillah as-Sakandari)

       Jika sebuah keburukan terjadi  menjadikan kita lebih baik, berarti itulah sebuah kebaikan sesungguhnya. Manusia tempatnya lupa dan salah, begitukan katanya? Untuk itu jangan takut mencoba dan salah. Kita akan terus belajar selama hayat masih dikandung badan. Terjatuh? Itu isyarat bahwa kita akan bangkit berdiri lebih kuat. Bukankah Allah azza wa jalla akan selalu memberi pertolongan. Hidup itu bagai ingin membangun rumah satu per satu menumpuk bata, butuh proses. Salah dan terjatuh adalah bagian dari proses tersebut. jangan takut mencoba, jangan takut berubah, dan jangan takut menjadi pembeda. 

“Hidup hanyalah kesempatan membuat pilihan, segalanya digulirkan dan digilirkan. Apapun yang kita pilih, ujungnya adalah tanggung jawab. Memikul tanggung jawab apapun pasti melelahkan. Tidak ada hidup yang tidak melelahkan. Yang membedakan hanya bagaimana memahami setiap konsekuensi pilihan dengan sikap terbaik.”